KUDUS, ZONANEWS.ID — Sosok Sunan Kudus sebagai salah satu Walisongo dan ulama besar penyebar Islam di tanah Jawa kembali menjadi sorotan dalam diskusi yang digelar Yayasan Almanar Kudus pada Senin (23/12/2024) malam.
Diskusi bertajuk “Menyongsong 500 Tahun Kudus 956-1456 Hijriyah, Jejak Laku Syaikh Jafar Shadiq dalam Membentuk Peradaban Kudus yang Sejahtera, Harmoni, dan Takwa” ini bertujuan menggali kembali makna dan sejarah Hari Jadi Kudus serta peran penting Sunan Kudus dalam membangun peradaban.
Pendiri Yayasan Almanar Kudus, Maesah Agni, menyebutkan bahwa eksplorasi mendalam tentang sosok dan sejarah Sunan Kudus masih sangat minim.
“Sejarah Sunan Kudus belum didetailkan secara komprehensif. Ini berdampak pada pemahaman yang kurang mendalam, termasuk saat ada wacana revisi Hari Jadi Kudus yang berpijak pada sejarah beliau,” ujarnya.
Diskusi yang diadakan di Kudus ini menghadirkan sejumlah narasumber kompeten, termasuk Javanolog dan budayawan Yogyakarta Irfan Afifi, Pemerhati Sejarah dan Kebudayaan Kudus Moh Aslim Akmal, serta Ketua Paguyuban Ketoprak Kabupaten Pati Lek Mogol.
Sejak lama, penetapan Hari Jadi Kudus yang jatuh pada 23 September berdasarkan Perda Nomor 11 Tahun 1990 dinilai kurang memiliki dasar keilmuan yang kuat. Menurut Maesah, jika penanggalan yang tertulis dalam naskah akademis perda tersebut dikonversi, seharusnya Hari Jadi Kudus jatuh pada 2 Oktober.
“Dari pembacaan prasasti, Kudus sebenarnya berdiri pada 19 Rajab 956 Hijriyah, atau 23 Agustus 1549 dalam penanggalan Masehi,” ungkap Maesah. Ia menambahkan pentingnya tindak lanjut serius dari Pemkab Kudus untuk merevisi penetapan ini.
Dalam diskusi tersebut, Irfan Afifi menjelaskan bahwa peran Sunan Kudus melampaui sekadar penyebaran agama Islam.
“Sunan Kudus adalah seorang ulama fikih yang ulung, dikenal menciptakan tata hukum masyarakat serta pengadilan di masa Demak awal. Ini adalah upaya menegakkan stabilitas kerajaan dengan hukum syariat,” paparnya.
Ia juga menyoroti pendekatan Sunan Kudus yang adaptif terhadap budaya lokal.
“Beliau menciptakan harmoni dalam keberagaman. Inilah yang menjadikan Kudus memiliki corak unik dibanding masyarakat santri lain di Jawa,” tambahnya.
Salah satu contoh konkret adalah kebijakan larangan menyembelih sapi untuk menghormati komunitas Hindu, serta penggunaan elemen budaya seperti gapura Majapahit dalam arsitektur Masjid Kudus.
Bupati Kudus terpilih, Samani Intakoris, yang turut hadir dalam diskusi, menyampaikan bahwa perlu adanya kajian yang lebih mendalam mengenai peran Sunan Kudus dalam membentuk identitas Kudus yang dikenal saat ini.